Untuk Ibu
Bunyi Ayam berkokop
mulai terdengar. Bertanda hari pun kini sudah pagi. Aku mulai bangun dari
tidurku. Aku lalu membereskan tempat tidurku. Setelah itu, aku segera pergi ke
kamar mandi. Tapi, langkahku terhentikan saat aku melihat Ibuku yang sedang
memasak dan batuk secara terus-menerus. Aku pun segera menghampiri Ibuku.
“Bu? Ibu baik-baik saja?” tanyaku pada Ibu.
Ibu sedikit terkejut
melihat kedatanganku yang tiba-tiba.
“Tidak apa-apa Amir. Ibu baik-bai saja,” jawab ibu dengan suara yang serak.
“Tapi, Amir lihat, Ibu sedang sakit? Hari ini Ibu istirahat saja lah,
biar Amir yang berjualan,” rayuku pada Ibu agar mau beristirahat.
“Tidak nak, kamu harus sekolah. Ibu baik-baik saja kok. Kamu jangan
khawatirkan Ibu. Ibu cuma batuk-batuk saja,” jawab Ibuku menjelaskan.
Mendengar penjelasan
Ibu, aku tetap saja merasa kalau Ibuku ini sedang tidak sehat dan seharusnya
beristirahat.
“Tapi bu,”
“Sudah, kamu mandi dulu sana! Sekolah saja yang rajin.”
Belum sempat aku
meneruskan bicara, Ibu sudah memotong pembicaraanku. Akhirnya aku tidak bias
berbuat apa-apa selain menuruti perkataan Ibu.
*****
Semenjak Ayah meninggal
dunia, memang hanya ibulah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup ini.
Meskipun hanya berjualan gorengan keliling, tapi Alhamdulillah itu sudah cukup,
walau kadang kala masih harus hutang ke tetangga untuk makan. Aku tak tega
melihat Ibu yang harus bekerja sendirian. Ingin aku membantu Ibu bekerja. Tapi
Ibu selalu melarangku.
Sampai saat ini, aku
tidak juga bisa memahami Ibu. Dan tidak juga tahu arti dibalik setiap
senyumannya. Aku tudak pernah bisa membedakan kapan Ibu bersedih dan kapan Ibu
bahagia. Karena menurutku semuanya sama. Padahal, aku bisa merasakan betapa
beratnya beban yang harus Ibu pikul. Aku tidak pernah bisa membayangkan
bagaimana Ibu bisa melalui semua ini. Aku selalu berharap bisa memahami semua
itu.
*****
Aku mulai melangkahkan
kakiku untuk pergi menuju ke sekolah. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan
Ibuku. Tapi harus bagaimana lagi. Aku harus sekolah, aku harus menuntut ilmu.
Belum sempat aku masuk
ke dalam sekolah. Datang temanku yang berteriak-teriak memanggilku.
“Amir!!! Amir!!!”
Adi temanku menmanggilku
dengan nafas yang ngos-ngosan
“Iya, Di, ada apa?” tanyaku penasaran.
“Ibumu Mir? Ibumu,” kata Adi panik.
“Kenapa dengan Ibuku, Di? Kenapa?” tanyaku dengan panik sekali.
“Ibumu jatuh pingsan di rumahku saat berjualan!”
“Apa???”
Aku sangat terkejut
mendengarnya. Aku pun segera pergi ke rumah Adi. Sesampainya di rumah Adi,
ternyata ibu sudah dibawa pulang ke rumah. Akhirnya aku pun langsung pulang ke
rumah.
“Ibuu!!!”
Aku langsung berteriak
dan memeluk Ibuku dengan erat saat melihatnya terbaring di tempat tidur. Aku
pun mulai meneteslan air mata.
“Kenapa Amir menangis? Ibu kan tidak apa-apa? Ibu Cuma kecapekan aja kok?
Kata Ibu menenangkanku saat melihatku meneteskan air mata.
Aku hanya bisa diam saja
mendengar perkataan Ibu itu. Aku tidak tahu harus bicara apa.
Aku tahu Ibu hanya ingin menghiburku dengan bicara Ibu hanya baik-baik saja.
Yang aku rasakan kini hanyalah kesedihan yang mendalam. Sedih karena tidak bisa
menemani dan melindungi Ibu.
*****
Semenjak Ibu sakit, aku
menggantikan Ibu berjualan. Sebenarnya Ibu melarangku untuk berjualan. Tapi apa
daya, jika aku tidak berjualan, siapa yang akan mencari uang untuk membeli
makanan? Dan siapa pula yang mencari uang untuk membeli obat? Akhirnya Ibu pun
dengan berat hati mengizinkanku.
Pagi-pagi aku sudah
mulai menjual daganganku. Sebenarnya dagangan ini bukan Ibuku sendiri yang
membuatnya, tetapi tetanggaku. Hasil penjualan nantinya dibagi dua untuk
upahku. Jadi, aku harus menjual gorengan ini sebanyak-banyaknya jika ingin
dapat uang banyak.
Aku terus menelusuri
ramainya jalanan saat itu. Panasnya terik matahari tidak membuatku patah
semangat. Aku terus menawarkan gorengan-gorenganku itu kepada semua orang.
Sesekali aku juga beristirahat di bawah pohon ataupun di rumah orang. Umurku
memang baru menginjak 15 tahun. Tapi aku harus terus semangat untuk menjual
gorengan itu demi Ibuku, satu-satunya keluargaku.
Setelah aku berkeliling
sampai siang hari, akhirnya semua gorenganku habis terjual.
“Alhamdulillah…akhirnya semuanya habis. Bisa untuk membeli beras dan lauk
pauk untuk makan. Tapi, kayaknya kurang deh kalau sama membeli obat untuk Ibu?”
Aku mulai kebingungan.
Uang yang aku peroleh hari ini hanya cukup untuk membeli makan. Tapi tidak akan
cukup jika sama membeli obat.
“Aku harus mencari uang tambahan untuk membeli obat untuk Ibu,” gumamku
dalam hati.
Aku pun terus berjalan.
Bertanya kesana kesini tentang pekerjaan. Setelah sekian lama bertanya,
akhirnya aku menemukan sebuah pekerjaan, yaitu mengangkat kardus-kardus berisi
buah ke dalam mobil box.
Aku mulai mengangkat dan
memasukkan kardus-kardus itu ke dalam mobil. Keringat mulai mengucur deras.
Meskipun sangat lelah, aku tetap meneruskan pekerjaanku.
Setelah semuanya telah
dimasukkan ke dalam mobil, aku pun menerima upahku.
“Nih dek, upahnya. Terima kasih ya?” kata orang yang memperkerjakanku itu
sambil memberi uang sepuluh ribuan.
Aku pun menerimanya dengan
perasaan senang dan bahagia. Kemudian aku langsung membeli obat untuk Ibu.
Sesampainya di rumah,
aku segera memberikan obat itu ke Ibu.
“Loh? Dapat uang dari mana nak? Kok kamu bisa membeli obat?” Tanya Ibu
penasaran.
Aku pun menceritakan
semuanya kepada Ibu. Ibuku yang mendengarnya pun menangis bahagia.
“Ibu sangat bangga nak punya anak seperti kamu!” kata Ibuku sambil
menangis.
Lalu Ibuku mulai
memelukku. Aku pun membalas pelukan Ibuku dengan penuh kasih dan sayang.
Tiga hai setelah itu,
Ibu pun sudah sehat dan kembali bekerja. Aku jugua sudah kembali bersekolah.
Kini aku sering membantu Ibuku berjualan sepulang sekolah. Dan kinipun keluarga
kami kembali bahagia.
TAMAT