Matahari masih belum menampakkan wajahnya. Langit masih terlihat
gelap. Orang-orang masih tertidur lelap di rumah masing-masing. Tapi tidak
dengan Usman. Seorang laki-laki tua dengan 5 orang anak itu sudah bersiap-siap
untuk pergi ke pasar untuk bekerja. Matanya terlihat masih mengantuk. Tetapi ia
tetap melanjutkan perjalanannya karena harus mencari nafkah untuk makan istri
dan anak-anaknya.
Sesampainya di
pasar, ia langsung memulai pekerjaannya. Ia mulai mengangkat karung-karung besar
dari atas mobil. Ya, memang pekerjaannya hanya menjadi buruh angkat barang
saja. Meskipun ia sudah tua, tetapi tenaganya masih kuat seperti orang muda.
Saat Usman
beristirahat, ia bertemu dengan anak pertamanya yang sudah berkeluarga.
“Ayah?” sapa anaknya yang bernama Aisyah itu.
“Aisyah?” Usman terkejut saat melihat kedatangan anaknya yang
tiba-tiba itu.
Aisyah kemudian
mencium tangan Ayahnya itu.
“Ayah masih bekerja jadi buruh angkat?” Tanya Aisyah saat melihat
karung-karung dipinggir Ayahnya.
“Mau kerja apa lagi, Nak? Tidak ada orang lagi yang mau menerima
Ayah yang sudah tua ini untuk bekerja!” jawab Ayahnya sambil membuka topi
bututnya.
Aisyah sangat
sedih mendengar perkataan ayahnya itu. Tak terasa air mata mengalir dipipinya.
“Aisyah kenapa menangis?” Tanya Ayahnya saat melihat Aisyah
menangis.
“Maafin Aisyah, Yah? Aisyah tidak bisa membahagiakan Ayah.” Kata
Aisyah kemudian memeluk Ayahnya.
“Iya, Aisyah. Ayah tahu. Kamu sendiri kan keadaannya lagi tidak
baik. Kamu urus saja keluargamu. Ayah tidak apa-apa kok?” Ucap Ayahnya.
“Tapi, Yah?”
“Sudah, jangan menangis. Ayah mau bekerja lagi.” Potong Ayahnya
kemudian melanjutkan kembali kerjanya.
Usman,
Ayah Aisyah pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia kembali mengangkat dan
memindahkan karung-karung besar dan berat itu. Ia melangkahkan kakinya
perlahan-lahan. Namun terkadang langkanya itu sedikit gemetar. Menandakan bahwa
ia memang sudah tidak kuat lagi dengan pekerjaan itu.
Aisyah
terhenyak saat melihatnya. Ia benar-benar merasa kasihan dengan Ayahnya itu. Wajahnya yang terlihat sudah tua, sangat terlihat kalau ia memang
sudah tidak mampu lagi untuk bekerja. Keringatnya mengucur deras dari tubuhnya
tuanya.
Tak terasa air mata itu kembali mengalir deras dipipi Aisyah. Ia tak tega melihat Ayahnya itu. Kalau saja keadaan keluarganya
sendiri baik, pasti Ayahnya itu sudah dilarang untuk bekerja. Tapi nyatanya
tidak, keluarganya sendiri sekarang sedang mengalami keterpurukan. Suaminya
baru saja di PHK. Dan sekarang bekerja serabutan disana-sini.
*****
Aisyah pulang
dengan perasaan yang sangat sedih. Melihat Ayahnya berjuang mencari nafkah
untuk menghidupi Ibunya, serta adik-adiknya yang masih bersekolah. Sungguh perjuangan
yang sangat berat.
Aisyah teringat
kembali saat ia masih remaja dan masih tinggal dengan kedua orang tuanya. Ia
begitu bahagia saat itu. Meskipun keadaannya pas-pasan. Tapi Ayahnya bekerja
tidak sesusah ini. Ia hanya bekerja menjadi satpam di sebuah perusahaan. Aisyah
sangat sedih jika melihat keadaan sekarang yang sangat beda dengan dulu.
Berhari-hari
Aisyah bersedih. Ia masih memikirkan Usman Ayahnya. Ia benar-benar menyesal
tidak bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Ia sangat rindu dengan kedua orang
tuanya. Ia sangat ingin memeluk dan mencium kedua orang tuanya itu.
“Ayah, Ibu, Aisyah rindu kalian?” Gumamnya dalam hati.
“Aisyah ingin memeluk dan mencium kalian. Aisyah ingin duduk
dipangkuan kalian seperti saat aku kecil dulu. Aisyah sayang kalian Ayah, Ibu!”
gumamnya lagi dengan mata yang meneteskan air mata.
Keesokan harinya, Aisyah
dan suaminya pergi ke rumah orang tuanya. Karena Aisyah tidak bisa membendung
lagi perasaan rindu itu.
“Assalamu’alaikum!” Aisyah memberi salam Smbil mengetok pintu.
“Wa’alaikum salam!” jawab Ayahnya sambil membukakan pintu.
“Ayah!” ucap Aisyah sepontan ketika melihat Ayahnya kemudian
langsung memeluknya.
Air mata Aisyah
pun mengalir deras di pipinya.
“Ayah, semenjak Aisyah melihat bekerja keras seperti itu, Aisyah
merasa sangat bersalah. Aisyah seperti anak yang tidak bertanggung jawab!” kata
Aisyah sambil meneteskan air mata.
“Huss, jangan bicara seperti itu. Itu sudah pekerjaan Ayah. Itu
tanggung jawab Ayah sebagai kepala rumah tangga!” jawab Ayahnya.
“Tidak Ayah. Aisyah ingin Ayah dirumah saja, menikmati hari tua
Ayah seperti orang lain!” katanya Aisyah lagi.
“Tapi, Aisyah…”
“Ayah, Aisyah berjanji akan membahagiakan Ayah dan Ibu. Aisyah
sayang Ayah. Aisyah sayang Ibu. Aisyah tidak ingin melihat Ayah bekerja keras
seperti itu lagi. Biarlah Aisyah yang bekerja,” potong Aisyah sebelum Ayahnya
meneruskan bicaranya.
“Tapi, Aisyah. Ayah tidak ingin merepotkanmu. Ayah tidak mau Ayah
ini menjadi beban untuk keluargamu. Biarkan Ayah bekerja sendiri. Kalau kamu
bekerja, bagaimana dengan suamimu? Ayah tidak ingin merepotkannya!” jawab
Ayahnya.
“Tidak, Ayah. Ayah tidak merepotkan Aisyah. Itu memang sudah
kewajiban Aisyah sebagai anak. Suami Aisyah pun setuju dengan semua ini.” Kata
Aisyah meyakinkan.
“Baiklah, Aisyah. Ayah tidak bisa memaksamu.”
“Aisyah sayang Ayah!” katanya kemudian memeluk Ayahnya itu dengan erat.
Tak terasa air
mata itu mengalir deras dipipi Aisyah. Ia tak bisa membendung perasaan bahagia
itu. Perasaan yang sangat ia impikan sejak dulu.
SELESAI
0 komentar:
Post a Comment