Wednesday, January 13, 2016

Cerpen - Perjuangan Seorang Ayah


Perjuangan Seorang Ayah

          Matahari masih belum menampakkan wajahnya. Langit masih terlihat gelap. Orang-orang masih tertidur lelap di rumah masing-masing. Tapi tidak dengan Usman. Seorang laki-laki tua dengan 5 orang anak itu sudah bersiap-siap untuk pergi ke pasar untuk bekerja. Matanya terlihat masih mengantuk. Tetapi ia tetap melanjutkan perjalanannya karena harus mencari nafkah untuk makan istri dan anak-anaknya.
            Sesampainya di pasar, ia langsung memulai pekerjaannya. Ia mulai mengangkat karung-karung besar dari atas mobil. Ya, memang pekerjaannya hanya menjadi buruh angkat barang saja. Meskipun ia sudah tua, tetapi tenaganya masih kuat seperti orang muda.
            Saat Usman beristirahat, ia bertemu dengan anak pertamanya yang sudah berkeluarga.
“Ayah?” sapa anaknya yang bernama Aisyah itu.
“Aisyah?” Usman terkejut saat melihat kedatangan anaknya yang tiba-tiba itu.
            Aisyah kemudian mencium tangan Ayahnya itu.
“Ayah masih bekerja jadi buruh angkat?” Tanya Aisyah saat melihat karung-karung dipinggir Ayahnya.
“Mau kerja apa lagi, Nak? Tidak ada orang lagi yang mau menerima Ayah yang sudah tua ini untuk bekerja!” jawab Ayahnya sambil membuka topi bututnya.
            Aisyah sangat sedih mendengar perkataan ayahnya itu. Tak terasa air mata mengalir dipipinya.
“Aisyah kenapa menangis?” Tanya Ayahnya saat melihat Aisyah menangis.
“Maafin Aisyah, Yah? Aisyah tidak bisa membahagiakan Ayah.” Kata Aisyah kemudian memeluk Ayahnya.
“Iya, Aisyah. Ayah tahu. Kamu sendiri kan keadaannya lagi tidak baik. Kamu urus saja keluargamu. Ayah tidak apa-apa kok?” Ucap Ayahnya.
“Tapi, Yah?”
“Sudah, jangan menangis. Ayah mau bekerja lagi.” Potong Ayahnya kemudian melanjutkan kembali kerjanya.
            Usman, Ayah Aisyah pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia kembali mengangkat dan memindahkan karung-karung besar dan berat itu. Ia melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Namun terkadang langkanya itu sedikit gemetar. Menandakan bahwa ia memang sudah tidak kuat lagi dengan pekerjaan itu.
            Aisyah terhenyak saat melihatnya. Ia benar-benar merasa kasihan dengan Ayahnya itu. Wajahnya yang terlihat sudah tua, sangat terlihat kalau ia memang sudah tidak mampu lagi untuk bekerja. Keringatnya mengucur deras dari tubuhnya tuanya.
Tak terasa air mata itu kembali mengalir deras dipipi Aisyah. Ia tak tega melihat Ayahnya itu. Kalau saja keadaan keluarganya sendiri baik, pasti Ayahnya itu sudah dilarang untuk bekerja. Tapi nyatanya tidak, keluarganya sendiri sekarang sedang mengalami keterpurukan. Suaminya baru saja di PHK. Dan sekarang bekerja serabutan disana-sini.
*****
            Aisyah pulang dengan perasaan yang sangat sedih. Melihat Ayahnya berjuang mencari nafkah untuk menghidupi Ibunya, serta adik-adiknya yang masih bersekolah. Sungguh perjuangan yang sangat berat.
            Aisyah teringat kembali saat ia masih remaja dan masih tinggal dengan kedua orang tuanya. Ia begitu bahagia saat itu. Meskipun keadaannya pas-pasan. Tapi Ayahnya bekerja tidak sesusah ini. Ia hanya bekerja menjadi satpam di sebuah perusahaan. Aisyah sangat sedih jika melihat keadaan sekarang yang sangat beda dengan dulu.
            Berhari-hari Aisyah bersedih. Ia masih memikirkan Usman Ayahnya. Ia benar-benar menyesal tidak bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Ia sangat rindu dengan kedua orang tuanya. Ia sangat ingin memeluk dan mencium kedua orang tuanya itu.
“Ayah, Ibu, Aisyah rindu kalian?” Gumamnya dalam hati.
“Aisyah ingin memeluk dan mencium kalian. Aisyah ingin duduk dipangkuan kalian seperti saat aku kecil dulu. Aisyah sayang kalian Ayah, Ibu!” gumamnya lagi dengan mata yang meneteskan air mata.
            Keesokan harinya, Aisyah dan suaminya pergi ke rumah orang tuanya. Karena Aisyah tidak bisa membendung lagi perasaan rindu itu.
“Assalamu’alaikum!” Aisyah memberi salam Smbil mengetok pintu.
“Wa’alaikum salam!” jawab Ayahnya sambil membukakan pintu.
“Ayah!” ucap Aisyah sepontan ketika melihat Ayahnya kemudian langsung memeluknya.
            Air mata Aisyah pun mengalir deras di pipinya.
“Ayah, semenjak Aisyah melihat bekerja keras seperti itu, Aisyah merasa sangat bersalah. Aisyah seperti anak yang tidak bertanggung jawab!” kata Aisyah sambil meneteskan air mata.
“Huss, jangan bicara seperti itu. Itu sudah pekerjaan Ayah. Itu tanggung jawab Ayah sebagai kepala rumah tangga!” jawab Ayahnya.
“Tidak Ayah. Aisyah ingin Ayah dirumah saja, menikmati hari tua Ayah seperti orang lain!” katanya Aisyah lagi.
“Tapi, Aisyah…”
“Ayah, Aisyah berjanji akan membahagiakan Ayah dan Ibu. Aisyah sayang Ayah. Aisyah sayang Ibu. Aisyah tidak ingin melihat Ayah bekerja keras seperti itu lagi. Biarlah Aisyah yang bekerja,” potong Aisyah sebelum Ayahnya meneruskan bicaranya.
“Tapi, Aisyah. Ayah tidak ingin merepotkanmu. Ayah tidak mau Ayah ini menjadi beban untuk keluargamu. Biarkan Ayah bekerja sendiri. Kalau kamu bekerja, bagaimana dengan suamimu? Ayah tidak ingin merepotkannya!” jawab Ayahnya.
“Tidak, Ayah. Ayah tidak merepotkan Aisyah. Itu memang sudah kewajiban Aisyah sebagai anak. Suami Aisyah pun setuju dengan semua ini.” Kata Aisyah meyakinkan.
“Baiklah, Aisyah. Ayah tidak bisa memaksamu.”
“Aisyah sayang Ayah!” katanya kemudian memeluk Ayahnya itu dengan erat.
            Tak terasa air mata itu mengalir deras dipipi Aisyah. Ia tak bisa membendung perasaan bahagia itu. Perasaan yang sangat ia impikan sejak dulu.

SELESAI

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | hostgator reviews